Senin, 05 Juli 2010
Man-machine Interface
Klik disini untuk mengetahui Materi perkuliahan hubungan manusia dengan mesin/lingkungan tempat kerja
Osteoporosis dan Multiple Sklerosis
Jika ingin memperoleh bahan kuliah tentang Osteoporosis dan Multiple Sklerosis beserta latihan-latihannya maka silahkan Klik DISINI
Minggu, 04 Juli 2010
Anatomi Fisiologi
Bagi mahasiswa Akademi Hiperkes Makassar yang memprogramkan mata kuliah Anatomi Fisiologi, silahkan klik Bahan Kuliah ini DISINI
Sabtu, 03 Juli 2010
Lindungi Pinggang Anda
Bagi mahasiswa yang ingin mendalami ergonomi, khususnya untuk mencegah terjadinya sakit pinggang pada pekerja, maka anda dapat mendownload bahan ini DISINI
Jumat, 02 Juli 2010
Palpasi Nerve Blok
Pemeriksaan Palpasi
Palpasi n. medianus (C5-T1) dr axilla ke medial tendon biceps dan a. brachialis. Pada carpal tunnel teraba antara tendon palmaris longus dan flexor carpiradialis.
Palpasi n. ulnaris (C7.C8,T1)
Pd sulcul ulnaris dan carpal tunnel antara fleksor carpiulnaris dan a. ulnaris
Palpasi n. radialis (C5-T1)
Dpt dipalpasi pd dalam axilla, pd 1cm distal insersio m. deltoideus
Osteoporosis
Evidenced Based
Osteoporosis is more common in women than in men. This is because during menopause, a woman's ovaries greatly slow their production of estrogen, a hormone that keeps the bone-dissolving activity of the osteoclasts in check. After menopause the osteoblasts continue to build bone, but they cannot keep up with the speed at which the osteoclasts break it down. As a result, a woman begins to lose bone rapidly, especially in the first five years after menopause. If no measures are taken to prevent or slow bone loss, osteoporosis can occur.
Bone loss in men generally begins later and advances more slowly than it does in women. Men tend to have larger and stronger bones than women do and they do not go through the abrupt hormonal changes that occur with menopause. But as they age men do loose bone density, in part because of a natural decrease in testosterone. By age 65 or 70 men and women lose bone mass at similar rates. Calcium absorption, which is needed to keep bones healthy, also decreases in men and women.
Most cases of osteoporosis result from the speeding up of bone loss that can occur for a number of reasons:
Decrease in the levels of hormones (estrogen and testosterone) in the body
Lack of physical activity
Lack of calcium and vitamin D
Smoking
Excessive alcohol use
Certain medications.
Defenisi
Osteoporosis adalah penyakit dimana tulang menjadi keropos dan melemah.
Saat tulang kehilangan kekuatan maka lebih mudah untuk patah
Tulang-tulang Columna vertebralis, hip, wrist, pelvis, dan lengan atas adalah area khusus yang beresiko untuk fracture pada seseorang dengan osteoporosis.
Osteoporosis adalah penyakit tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat akhirnya menimbulkan kerapuhan tulang.
Penyebab
Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan postmenopausal.
Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini.
Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.
Klasifikasi:
Osteoporosis primer
Osteoporosis primer sering menyerang wanita pasca menopause dan juga pada pria usia lanjut dengan penyebab yang belum diketahui.
Osteoporosis sekunder
Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit, misalnya kurang gerak
Prevalensi
Sekitar 10 juta orang Amerika Serikat yang menderita osteoporosis dan 18 juta menderita osteopenia (penyakit yang berkembang secara progressif tanpa gejala hingga didiagnosis keropos tulang setelah terjadinya fraktur)
Patogenesis
Tulang terbentuk dari Calsium dan mineral lain (bone hard).
Densitas tulang (bone mineral density) dirujuk sebagai kandungan mineral alam tulang (berkaitan dengan seberapa keras dan kuatnya suatu tulang). Densitas yang rendah terlihat pada kasus osteoporosis.
Tulang adalah jenis jaringan, dimana secara konstan terjadi repairs dan renews sendiri (remodeling).
Ada dua jenis sel yang terlibat dalam remodeling:
1. Osteoclasts, sel untuk menghancurkan, atau resorb, dan melepaskan Calsium ke dalam darah.
2. Osteoblasts, sel yang menarik Calsium dari darah untuk membentuk tulang baru.
Keseimbangan kerja antara osteoblasts dan osteoclasts membuat tulang tetap sehat.
Perbandingan antara garam-garam organik dan anorganik pada tulang bayi adalah 1 : 1, tetapi ini akan berubah sehingga pada usia 60-70 tahun perbandingan tersebut menjadi 7 : 1. Hal ini menyebabkan tulang-tulang muda menjadi elastis, sedangkan tulang-tulang tua mudah patah.
Pada anak muda tulang meningkat densitasnya, tetapi setelah usia 35 tahun, tulang mulai untuk kehilangan densitasnya
Unsur tulang terdiri dari 25-35 % air dan 60-70 % mineral dalam bentuk kalsium fosfat dan kalsium karbonat
Memiliki kemampuan terhadap tekanan dan regangan.
Akan tetapi kemampuan tulang untuk menahan tekanan dan regangan memiliki batas kemampuan sehingga pada keadaan diluar kemampuan tulang maka akan mengalami kerusakan.
Matriks Tulang
kristal-kristal kalsium fosfat (Ca10(PO4)6(OH)2)
kolagen tipe 1
fluor, sodium, potassium, sitrat,
Gejala
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Beberapa penderita tidak memiliki gejala.
Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk.
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot dan sakit.
Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung menyembuh secara perlahan.
Diagnosa
Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis osteoporosis ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik dan rontgen tulang. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan untuk menyingkirkan keadaan lainnya yang bisa diatasi, yang bisa menyebabkan osteoporosis.
Untuk mendiagnosis osteoporosis sebelum terjadinya patah tulang dilakukan pemeriksaan yang menilai kepadatan tulang. Pemeriksaan yang paling akurat adalah DXA (dual-energy x-ray absorptiometry). Pemeriksaan ini aman dan tidak menimbulkan nyeri, bisa dilakukan dalam waktu 5-15 menit. DXA sangat berguna untuk:
wanita yang memiliki resiko tinggi menderita osteoporosis
penderita yang diagnosisnya belum pasti
penderita yang hasil pengobatannya harus dinilai secara akurat.
Lokasi:
Fraktur Panggul
Fraktur panggul paling sering terjadi akibat osteoporosis. Di AS, lebih dari 250.000 fraktur panggul pertahunnya merupakan akibat dari osteoporosis. ] Ini diperkirakan bahwa seorang wanita kulit putih usia 50 tahun mempunyai waktu hidup 17,5% beresiko fraktur femur proksimal. Insidensi fraktur panggul meningkat setiap dekade dari urutan ke 6 menjadi urutan ke 9 baik untuk wanita maupun pria pada semua populasi. Insidensi tertingi ditemukan pada pria dan wanita usia 80 tahun ke atas.
Fraktur Vertebral
Antara 35-50% dari seluruh wanita usia di atas 50 tahun setidaknya satu mengidap fraktur vertebral. Di AS, 700.000 fraktur vertebra terjadi pertahun, tapi hanya sekitar 1/3 yang diketahui. Dalam urutan kejadian 9.704 wanita usia 68,8 tahun pada studi selama 15 tahun, didapatkan 324 wanita sudah menderita fraktur vertebral pada saat mulai dimasukkan ke dalam penelitian; 18.2% berkembang menjadi fraktur vertebra, tapi resiko meningkat hingga 41.4% pada wanita yang sebelumnya telah terjadi fraktur vertebra.
Fraktur Pergelangan Tangan
Di AS, 250.000 fraktur pergelangan tangan setiap tahunnya merupakan akibat dari osteoporosis.] Fraktur pergelangan tangan merupakan tipe fraktur ketiga paling umum dari osteoporosis. Resiko waktu hidup yang ditopang fraktur Colles sekitar 16% untuk wanita kulit putih. Ketika wanita mencapai usia 70 tahun, sekitar 20%-nya setidaknya terdapat satu fraktur pergelangan tangan]
Fraktur Tulang Rusuk
Fragility fracture dari tulang iga umumnya terjadi pada laki-laki usia muda 25 tahun ke atas. Tanda-tanda osteoporosis pada pria ini sering diabaikan karena sering aktif secara fisik dan menderita fraktur pada saat berlatih aktifitas fisik. Contohnya ketika jatuh saat berski air atau jet ski. Bagaimanapun, tes cepat dari tingkat testosteron individu berikut diagnosis fraktur akan nampak dengan mudah apakah individu kemungkinan beresiko.
Manajemen Fisioterapi:
Rasionalisasi
Physiotherapists dapat membantu meningkatkan kekuatan otot, memberi nasihat jenis latihan yang dapat meningkatkan densitas tulang, memperbaiki keseimbangan tubuh untuk mencegah resiko terjatuh.
Aktivitas latihan yang diberikan terukur dan teratur
Kawasan Perhatian Fisioterapis Pada Kondisi Osteoporosis:
1. Relieve the pain of osteoporosis,
2. Improve posture and prevent falling and fractures.
3. Helps to maintain and improve a patient's physical capabilities.
(Pain relief Position relief Safety Exercise Weight-bearing exercises )
Jumat, 25 Juni 2010
Tennis Elbow Exercises
SKOR APGAR
SKOR APGAR
Skor Apgar pertama kali disusun pada tahun 1952 oleh Dr. Virginia Apgar, sebagai suatu metode sederhana dan dapat dengan mudah diulang untuk menyimpulkan dan mengukur kesehatan bayi yang baru lahir. Apgar adalah seorang ahli anestesi yang mengembangkan skor tersebut untuk mengetahui efek obstetric anesthesia pada bayi.
Skor Apgar ditetapkan dengan mengevaluasi bayi baru lahir berdasarkan lima kriteria dengan skala 0-2, lalu menjumlahkan kelima kriteria tersebut. Skor Apgar keseluruhan berkisar antara 0 sampai 10. Kelima kriteria tersebut (Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration) digunakan agar lebih mudah diingat.
• Skor diberikan untuk setiap tanda-tanda pada 1 menit dan 5 menit setelah lahir
• Jika ada masalah dengan bayi, maka skor tambahan dibuat setelah 10 menit
Skor APGAR
Tanda-Tanda dan Penilaiannya
A Activity (Muscle Tone) = Hilang(0) Lengan dan kaki tertekuk(1) Gerakan aktif (2)
P Pulse = Hilang (0) < 100 x/menit (1) > 100 x/menit (2)
G Grimace (Reflex Irritability) = Tidak ada respon (0) Menyeringai (1) Bersin, Batuk, Menyentak (2)
A Appearance (Skin Color) = Biru-kelabu,pucat seluruh tubuh (0) Normal, kecuali untuk anggota gerak (1) Normal untuk seluruh tubuh (2)
R Respiration = Hilang (0) Lambat dan tdk teratur (1) Baik dan menangis (2)
Klasifikasi Skor
• Skor 7-10 : Normal
• Skor 4-7 : Membutuhkan beberapa bantuan resusitasi yang terukur
• Skor < 3 : Butuh resusitasi dengan segera
Interpretasi Skor Tes
ini biasanya dilakukan pada menit pertama dan kelima setelah lahir, dan dapat diulang kemudian jika skornya rendah atau tetap rendah.
• Skor 3 dikategorikan rendah,
• Skor 4-6 agak rendah, dan Skor 7-10 umumnya normal.
Skor yang rendah pada menit pertama dapat menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir memerlukan perhatian medis, namun belum tentu mengindikasikan terdapat masalah jangka panjang, terutama bila kondisi menunjukkan adanya perkembangan setelah lima menit pertama
Jika skor Apgar tetap di bawah 3 pada waktu-waktu berikutnya, misal pada menit ke 10, 15, atau 30, terdapat resiko bahwa anak akan mengalami kerusakan neurologis jangka panjang
Praktisi fisioterapi pediatri tentulah harus lebih giat dan cerdas menganalisis Skor APGAR dan juga tentunya didukung oleh tes-tes lain yang berkaitan dengan tes tumbuh kembang anak.
Skor Apgar pertama kali disusun pada tahun 1952 oleh Dr. Virginia Apgar, sebagai suatu metode sederhana dan dapat dengan mudah diulang untuk menyimpulkan dan mengukur kesehatan bayi yang baru lahir. Apgar adalah seorang ahli anestesi yang mengembangkan skor tersebut untuk mengetahui efek obstetric anesthesia pada bayi.
Skor Apgar ditetapkan dengan mengevaluasi bayi baru lahir berdasarkan lima kriteria dengan skala 0-2, lalu menjumlahkan kelima kriteria tersebut. Skor Apgar keseluruhan berkisar antara 0 sampai 10. Kelima kriteria tersebut (Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration) digunakan agar lebih mudah diingat.
• Skor diberikan untuk setiap tanda-tanda pada 1 menit dan 5 menit setelah lahir
• Jika ada masalah dengan bayi, maka skor tambahan dibuat setelah 10 menit
Skor APGAR
Tanda-Tanda dan Penilaiannya
A Activity (Muscle Tone) = Hilang(0) Lengan dan kaki tertekuk(1) Gerakan aktif (2)
P Pulse = Hilang (0) < 100 x/menit (1) > 100 x/menit (2)
G Grimace (Reflex Irritability) = Tidak ada respon (0) Menyeringai (1) Bersin, Batuk, Menyentak (2)
A Appearance (Skin Color) = Biru-kelabu,pucat seluruh tubuh (0) Normal, kecuali untuk anggota gerak (1) Normal untuk seluruh tubuh (2)
R Respiration = Hilang (0) Lambat dan tdk teratur (1) Baik dan menangis (2)
Klasifikasi Skor
• Skor 7-10 : Normal
• Skor 4-7 : Membutuhkan beberapa bantuan resusitasi yang terukur
• Skor < 3 : Butuh resusitasi dengan segera
Interpretasi Skor Tes
ini biasanya dilakukan pada menit pertama dan kelima setelah lahir, dan dapat diulang kemudian jika skornya rendah atau tetap rendah.
• Skor 3 dikategorikan rendah,
• Skor 4-6 agak rendah, dan Skor 7-10 umumnya normal.
Skor yang rendah pada menit pertama dapat menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir memerlukan perhatian medis, namun belum tentu mengindikasikan terdapat masalah jangka panjang, terutama bila kondisi menunjukkan adanya perkembangan setelah lima menit pertama
Jika skor Apgar tetap di bawah 3 pada waktu-waktu berikutnya, misal pada menit ke 10, 15, atau 30, terdapat resiko bahwa anak akan mengalami kerusakan neurologis jangka panjang
Praktisi fisioterapi pediatri tentulah harus lebih giat dan cerdas menganalisis Skor APGAR dan juga tentunya didukung oleh tes-tes lain yang berkaitan dengan tes tumbuh kembang anak.
Glasgow Coma Scale
Penggunaan Glascow Coma Scale dalam Praktek Fisioterapi
Penanaman konsep GCS dalam praktek bagi fisioterapi perlu dipertimbangkan terutama pada kasus-kasus traumatology, baik yang bersifat Direct Traumatic maupun Indirect Traumatic dan neurolgis. Melalui penerapan GCS dalam praktek, akan memberikan gambaran komprehensif dari seorang penderita karena menilai berbagai respon balik yang menjadi representasi akan tingkat kesadaran dan luasnya kerusakan yang terjadi. Segala konsep pemeriksaan perlu dikuasai dan dipahami, baik dari pendekatan SOP maupun interpretasi nilai, sehingga menjadi petunjuk awal dari kondisi pasien dan indikator keberhasilan program tata laksana fisioterapi yang tersusun dengan baik.
• The Glasgow Coma Scale didasarkan pada skala poin 15 untuk mengestimasi dan mengkategorisasikan dampak dari brain injury sebagai asumsi dasar terhadap kemampuan sosial dan ketergantungan dengan orang lain.
• Skala ini dipublikasikan oleh Graham Teasdale dan Bryan J. Jennett, (1974), Profesor neurosurgery di University of Glasgow. (textbook Management of Head Injuries)
• Fokusnya : tes yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran.
• Alat : Inspeksi
• Satuan : Skor 3 s/d 15
Prosedur
• 1. Pasien diminta untuk melaksanakan perintah dari Tester
• 2. Tester menilai respon yang ada, kemudian menjumlahkaannya.
Semakin besar nilainya semakin baik nilai kesadarannya
Tes ini untuk mengukur:
• 1. Respon motorik
• 2. Respon verbal
• 3. Respon pembukaan mata
I. Motor Response
6 - Obeys commands fully
5 - Localizes to noxious stimuli
4 - Withdraws from noxious stimuli
3 - Abnormal flexion, i.e. decorticate posturing
2 - Extensor response, i.e. decerebrate posturing
1 - No response
II. Verbal Response
5 - Alert and Oriented
4 - Confused, yet coherent, speech
3 - Inappropriate words and jumbled phrases consisting of words
2 - Incomprehensible sounds
1 - No sounds
III. Eye Opening
4 - Spontaneous eye opening
3 - Eyes open to speech
2 - Eyes open to pain
1 - No eye opening
Skor akhir adalah dengan menambahkan nilai dari tes I+II+III.
Akumulasi nila akan membantu para fisioterapis untuk mengkatagorisasikan 4 kemungkinan level dari kemungkinan selamat, dimana angka yang rendah menunjukkan beratnya trauma yang terjadi dan jeleknya prognosis untuk sembuh pada pasien
Sebagai rangkaian adalah seperti klasifiksi berikut:
Ringan atau Mild (13-15):
• Menunjukkan gejala-gejala Traumatik Bain Injury yang ringan atau Mild TBI Symptoms
Sedang atau Moderate Disability (9-12):
• Loss of consciousness greater than 30 minutes
• Physical or cognitive impairments which may or may resolve
• Benefit from Rehabilitation
Berat atau Severe Disability (3-8):
• Coma: unconscious state. No meaningful response, no voluntary activities
Kondisi vegetatif atau Vegetative State (Less Than 3):
• Sleep wake cycles
• Aruosal, but no interaction with environment
• No localized response to pain
Kondisi vegetative yang menetap atau Persistent Vegetative State:
• Vegetative state lasting longer than one month
Kematian otak atau Brain Death:
• No brain function
• Specific criteria needed for making this diagnosis
Klasifikasi Koma
• 1. Berat GCS ≤ 8
• 2. Sedang GCS 9 - 12
• 3. Ringan GCS ≥ 13
Koma didefinisikan sebagai keadaan
• (1) tidak dapat membuka mata,
• (2) tidak dapat mengikuti perintah,
• (3) tidak dapat mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengerti.
PENILAIAN STATUS NEUROLOGIS
Karena para praktisi di bidang kesehatan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan pasien, observasi mereka sangat penting dalam menilai perubahan status neurologis. Catatan dasar neurologis sederhana memungkinkan praktisi membandingkan perubahan neurologis yang terjadi. Memastikan pasien stabil, memburuk atau membaik akan menentukan arah pengelolaan pasien. Agar kosisten dalam membandingkan, dipakai format standar seperti GCS. Untuk menilai pasien secara tepat, maka seseorang harus memahami 4 komponen penilaian neurologis praktis : tingkat kesadaran, fungsi motor, reaksi pupil, respirasi beserta tanda vital lainnya.
Tingkat kesadaran adalah indikator terpenting dari fungsi otak pasien dan biasanya memberikan pertanda pertama bahwa kondisi pasien memburuk. Tingkat kesadaran bervariasi dari sadar penuh, mengantuk, gelisah atau tidak bereaksi. Bila sadar penuh, pasien dapat menjawab pertanyaan dengan benar dan bisa berorientasi atas waktu, tempat dan orang. Pada pasien praverbal, gunakan GCS dengan modifikasi pada unsur verbal. Untuk menilai kesadaran terhadap lingkungan dan refleks, refleks isap bisa membatu menetukan derajat respons pasien. Tahap pertama perburukan diketahui bila anak menjadi gelisah, susah dibangunkan dan bereaksi lambat atau tidak tepat terhadap pertanyaan. Bila harus memberikan rangsang nyeri untuk mendapatkan respons, keadaan pasien nyata telah memburuk.
Indikator kedua yang digunakan adalah fungsi motor. Apakah anak mampu menggerakkan keempat anggotanya dengan kekuatan yang sama dan dengan terkontrol? Pada bayi, periksa kemampuan memegang botol dan atau refleks memegang. Pada anak lebih besar periksa kekuatan, ekualitas bilateral serta kemampuan melepas genggaman tangan. Untuk memeriksa kelemahan yang sangat ringan, suruh anak merentangkan tangannya kedepan sambil menyuruh menutup matanya. Bila ada kelemahan, anggota yang lemah akan bergerak kebawah. Bila satu sisi menjadi lebih buruk, berarti pasien mengalami perburukan neurologis. Periksa juga kesimetrisan wajah.
Indikator fungsi otak ketiga adalah mata (gerak bola mata dan respons pupil). Normalnya pupil ukurannya sama dan bereaksi jelas terhadap sinar. Pupil yang melebar dan bereaksi lambat merupakan masalah serius terutama bila bersama dengan penurunan derajat kesadaran. Gerak mata dicatat pada lembar pengamatan.
Indikator keempat adalah perubahan respirasi dan tanda-tanda vital lainnya. Respirasi akan melambat bila tekanan intrakranial meningkat. Melebarnya tekanan nadi yaitu bertambahnya selisih tekanan sistolik dan diastolik, serta bradikardia juga merupakan tanda lain dari peninggian Tekanan intra cranial. Perubahan tanda-tanda vital biasanya berakibat perubahan yang jelas dari tingkat kesadaran pasien dan dokter harus segera diberitahu perburukan pasien tsb.
Bila status neurologis pasien tidak stabil, tanda-tanda vital neurologis harus diinterpretasikan dan dicatat secara berkala. Pencatatan tanda-tanda neurologis berkisar antara setiap 15 menit dan 2 jam. Bila keadaan cukup stabil, tidak perlu memantau lebih cepat dari setiap 2 jam, namun pengamatan visual tetap merupakan hal yang harus dilakukan secara berkelanjutan sampai diyakini bahwa keadaan telah membaik.
Penanaman konsep GCS dalam praktek bagi fisioterapi perlu dipertimbangkan terutama pada kasus-kasus traumatology, baik yang bersifat Direct Traumatic maupun Indirect Traumatic dan neurolgis. Melalui penerapan GCS dalam praktek, akan memberikan gambaran komprehensif dari seorang penderita karena menilai berbagai respon balik yang menjadi representasi akan tingkat kesadaran dan luasnya kerusakan yang terjadi. Segala konsep pemeriksaan perlu dikuasai dan dipahami, baik dari pendekatan SOP maupun interpretasi nilai, sehingga menjadi petunjuk awal dari kondisi pasien dan indikator keberhasilan program tata laksana fisioterapi yang tersusun dengan baik.
• The Glasgow Coma Scale didasarkan pada skala poin 15 untuk mengestimasi dan mengkategorisasikan dampak dari brain injury sebagai asumsi dasar terhadap kemampuan sosial dan ketergantungan dengan orang lain.
• Skala ini dipublikasikan oleh Graham Teasdale dan Bryan J. Jennett, (1974), Profesor neurosurgery di University of Glasgow. (textbook Management of Head Injuries)
• Fokusnya : tes yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran.
• Alat : Inspeksi
• Satuan : Skor 3 s/d 15
Prosedur
• 1. Pasien diminta untuk melaksanakan perintah dari Tester
• 2. Tester menilai respon yang ada, kemudian menjumlahkaannya.
Semakin besar nilainya semakin baik nilai kesadarannya
Tes ini untuk mengukur:
• 1. Respon motorik
• 2. Respon verbal
• 3. Respon pembukaan mata
I. Motor Response
6 - Obeys commands fully
5 - Localizes to noxious stimuli
4 - Withdraws from noxious stimuli
3 - Abnormal flexion, i.e. decorticate posturing
2 - Extensor response, i.e. decerebrate posturing
1 - No response
II. Verbal Response
5 - Alert and Oriented
4 - Confused, yet coherent, speech
3 - Inappropriate words and jumbled phrases consisting of words
2 - Incomprehensible sounds
1 - No sounds
III. Eye Opening
4 - Spontaneous eye opening
3 - Eyes open to speech
2 - Eyes open to pain
1 - No eye opening
Skor akhir adalah dengan menambahkan nilai dari tes I+II+III.
Akumulasi nila akan membantu para fisioterapis untuk mengkatagorisasikan 4 kemungkinan level dari kemungkinan selamat, dimana angka yang rendah menunjukkan beratnya trauma yang terjadi dan jeleknya prognosis untuk sembuh pada pasien
Sebagai rangkaian adalah seperti klasifiksi berikut:
Ringan atau Mild (13-15):
• Menunjukkan gejala-gejala Traumatik Bain Injury yang ringan atau Mild TBI Symptoms
Sedang atau Moderate Disability (9-12):
• Loss of consciousness greater than 30 minutes
• Physical or cognitive impairments which may or may resolve
• Benefit from Rehabilitation
Berat atau Severe Disability (3-8):
• Coma: unconscious state. No meaningful response, no voluntary activities
Kondisi vegetatif atau Vegetative State (Less Than 3):
• Sleep wake cycles
• Aruosal, but no interaction with environment
• No localized response to pain
Kondisi vegetative yang menetap atau Persistent Vegetative State:
• Vegetative state lasting longer than one month
Kematian otak atau Brain Death:
• No brain function
• Specific criteria needed for making this diagnosis
Klasifikasi Koma
• 1. Berat GCS ≤ 8
• 2. Sedang GCS 9 - 12
• 3. Ringan GCS ≥ 13
Koma didefinisikan sebagai keadaan
• (1) tidak dapat membuka mata,
• (2) tidak dapat mengikuti perintah,
• (3) tidak dapat mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengerti.
PENILAIAN STATUS NEUROLOGIS
Karena para praktisi di bidang kesehatan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan pasien, observasi mereka sangat penting dalam menilai perubahan status neurologis. Catatan dasar neurologis sederhana memungkinkan praktisi membandingkan perubahan neurologis yang terjadi. Memastikan pasien stabil, memburuk atau membaik akan menentukan arah pengelolaan pasien. Agar kosisten dalam membandingkan, dipakai format standar seperti GCS. Untuk menilai pasien secara tepat, maka seseorang harus memahami 4 komponen penilaian neurologis praktis : tingkat kesadaran, fungsi motor, reaksi pupil, respirasi beserta tanda vital lainnya.
Tingkat kesadaran adalah indikator terpenting dari fungsi otak pasien dan biasanya memberikan pertanda pertama bahwa kondisi pasien memburuk. Tingkat kesadaran bervariasi dari sadar penuh, mengantuk, gelisah atau tidak bereaksi. Bila sadar penuh, pasien dapat menjawab pertanyaan dengan benar dan bisa berorientasi atas waktu, tempat dan orang. Pada pasien praverbal, gunakan GCS dengan modifikasi pada unsur verbal. Untuk menilai kesadaran terhadap lingkungan dan refleks, refleks isap bisa membatu menetukan derajat respons pasien. Tahap pertama perburukan diketahui bila anak menjadi gelisah, susah dibangunkan dan bereaksi lambat atau tidak tepat terhadap pertanyaan. Bila harus memberikan rangsang nyeri untuk mendapatkan respons, keadaan pasien nyata telah memburuk.
Indikator kedua yang digunakan adalah fungsi motor. Apakah anak mampu menggerakkan keempat anggotanya dengan kekuatan yang sama dan dengan terkontrol? Pada bayi, periksa kemampuan memegang botol dan atau refleks memegang. Pada anak lebih besar periksa kekuatan, ekualitas bilateral serta kemampuan melepas genggaman tangan. Untuk memeriksa kelemahan yang sangat ringan, suruh anak merentangkan tangannya kedepan sambil menyuruh menutup matanya. Bila ada kelemahan, anggota yang lemah akan bergerak kebawah. Bila satu sisi menjadi lebih buruk, berarti pasien mengalami perburukan neurologis. Periksa juga kesimetrisan wajah.
Indikator fungsi otak ketiga adalah mata (gerak bola mata dan respons pupil). Normalnya pupil ukurannya sama dan bereaksi jelas terhadap sinar. Pupil yang melebar dan bereaksi lambat merupakan masalah serius terutama bila bersama dengan penurunan derajat kesadaran. Gerak mata dicatat pada lembar pengamatan.
Indikator keempat adalah perubahan respirasi dan tanda-tanda vital lainnya. Respirasi akan melambat bila tekanan intrakranial meningkat. Melebarnya tekanan nadi yaitu bertambahnya selisih tekanan sistolik dan diastolik, serta bradikardia juga merupakan tanda lain dari peninggian Tekanan intra cranial. Perubahan tanda-tanda vital biasanya berakibat perubahan yang jelas dari tingkat kesadaran pasien dan dokter harus segera diberitahu perburukan pasien tsb.
Bila status neurologis pasien tidak stabil, tanda-tanda vital neurologis harus diinterpretasikan dan dicatat secara berkala. Pencatatan tanda-tanda neurologis berkisar antara setiap 15 menit dan 2 jam. Bila keadaan cukup stabil, tidak perlu memantau lebih cepat dari setiap 2 jam, namun pengamatan visual tetap merupakan hal yang harus dilakukan secara berkelanjutan sampai diyakini bahwa keadaan telah membaik.
Jumat, 18 Juni 2010
Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Dekubitus Ulces
PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KONDISI
DEKUBITUS ULCES PASIEN POST STROKE
Kita kehilangan sekitar satu gram sel kulit setiap harinya karena gesekan kulit pada baju dan aktivitas higiene yang dilakukan setiap hari seperti mandi.
Dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur, tetapi hal ini merupakan masalah yang khusus pada penderita stroke dan lansia, karena masalah imobilitas.
Seseorang yang tidak im-mobil yang dan tidak hanya berbaring ditempat tidur sampai berminggu-minggu tanpa terjadi dekubitus karena dapat berganti posisi beberapa kali dalam sejam. Penggantian posisi ini, biarpun hanya bergeser, sudah cukup untuk mengganti bagian tubuh yang kontak dengan alas tempat tidur.
Sedangkan im-mobilitas hampir menyebabkan dekubitus bila berlangsung lama. Terjadinya ulkus disebabkan gangguan aliran darah setempat dan juga keadaan umum dari penderita.
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat.
Walaupun semua bagian tubuh mengalami dekubitus, bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khsus.
Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak dilindungi oleh cukup dengan lemak sub kutan, misalnya daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior, daerah tumit dan siku.
Dekubitus merupakan suatu hal yang serius, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderita lanjut usia. Dinegara-negara maju, prosentase terjadinya dekubitus mencapai sekitar 11% dan terjadi dalam dua minggu pertama dalam perawatan.
Pasien stroke dan usia lanjut mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kulit berkaitan dengan immobilitas tersebut, antara lain:
• Berkurangnya jaringan lemak subkutan
• Berkurangnya jaringan kolagen dan elastin
• Menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh.
TIPE ULKUS DEKUBITUS
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga;
1. Tipe normal
Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5oC dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya baik.
2. Tipe arterioskelerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.
3. Tipe terminal
Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan sembuh.
PATOFISIOLOGI TERJADINYA DEKUBITUS
Tekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg-33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas tersebut. Tetapi sebagai contoh bila seorang penderita immobil/terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.
Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nokrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring berminggu-minggu tidak akan mengalami dakubitus selama dapat mengganti posisi beberapa kali perjammnya.
Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor mekanik tambahan yang dapat memudahkan terjadinya dekubitus;
• Faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah pada penderita dengan posisi dengan setengah berbaring
• Faktor terlipatnya kulit akiab gesekan badan yang sangat kurus dengan alas tempat tidur, sehingga seakan-akan kulit “tertinggal” dari area tubuh lainnya.
Faktor teragannya kulit akibat daya luncur antara tubuh dengan alas tempatnya berbaring akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan setempat.
Keadaan ini terjadi bila penderita immobil, tidak dibaringkan terlentang mendatar, tetapi pada posisi setengah duduk. Ada kecenderungan dari tubuh untuk meluncur kebawah, apalagi keadaannya basah. Sering kali hal ini dicegah dengan memberikan penhalang, misalnya bantal kecil/balok kayu pada kedua telapak kaki. Upaya ini hanya akian mencegah pergerakan dari kulit, yang sekarang terfiksasi dari alas, tetapi rangka tulang tetap cederung maju kedepan. Akibatnya terjadi garis-garis penekanan/peregangan pada jaringan subkutan yang sekan-akan tergunting pada tempat-tempat tertentu, dan akan terjadi penutupan arteriole dan arteri-arteri kecil akibat terlalu teregang bahkan sampai robek. Tenaga menggunting ini disebut Shering Forces.
Sebagai tambahan dari shering forces ini, pergerakan dari tubuh diatas alas tempatnya berbaring, dengan fiksasi kulit pada permukaan alas akan menyebabkan terjadinya lipatan-lipatan kulit (skin folding). Terutama terjadi pada penderita yang kurus dengan kulit yang kendur. Lipatan-lipatan kulit yang terjadi ini dapat menarik/mengacaukan (distorsi) dan menutup pembuluh-pembuluh darah.
Sebagai tambahan dari efek iskemia langsung dari faktor-faktor diatas, masih harus diperhatikan terjadinya kerusakan edotil, penumpukan trombosit dan edema. Semua inidapat menyebabkan nekrosis jarigan akibat lebih terganggunya aliran darah kapiler. Kerusakan endotil juga menyebabkn pembuluh darah mudah rusak bila terkena trauma.
Faktor tubuh sendiri (faktor intrinsik) juga berperan untuk terjadinya dekubitus antara lain;
FAKTOR INTRINSIK
• Selama penuaan, regenerasi sel pada kulit menjadi lebih lambat sehingga kulit akan tipis (tortora & anagnostakos, 1990)
• Penyakit-penyakit neurologik, penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, seperti stroke sehingga juga mempermudah dan memperjelek dekubitus
• Kandungan kolagen pada kulit yang berubah menyebabkan elastisitas kulit berkurang sehingga rentan mengalami deformasi dan kerusakan.
• Kemampuan sistem kardiovaskuler yang menurun dan sistem arteriovenosus yang kurang kompeten menyebabkan penurunan perfusi kulit secara progresif.
• Sejumlah penyakit yang menimbulkan seperti DM yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada sistem pernapasan menyebabkan tingkat oksigenisasi darah pada kulit menurun.
• Status gizi, underweight atau kebalikannya overweight
• Anemia
• Hipoalbuminemia yang mempermudah terjadinya dekubitus dan memperjelek penyembuhan dekubitus, sebaliknya bila ada dekubitus akam menyebabkan kadar albumin darah menurun
• Keadaan hidrasi/cairan tubuh perlu dinilai dengan cermat.
FAKTOR EKSTRINSIK
• Kebersihan tempat tidur,
• alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus.
• Duduk yang buruk
• Posisi yang tidak tepat
• Perubahan posisi yang kurang
PENAMPILAN KLINIS DARI DEKUBITUS
Karakteristik penampilan klinis dari dekubitus dapat dibagi sebagai berikut;
Derajat I Reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, tampak sebagai daerah kemerahan/eritema indurasi atau lecet.
Derajat II Reaksi yang lebih dalam lagi sampai mencapai seluruh dermis hingga lapisan lemah subkutan, tampak sebagai ulkus yang dangkal, degan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit.
Derajat III Ulkus menjadi lebih dalam, meliputi jaringan lemak subkutan dan menggaung, berbatasan dengan fascia dari otot-otot. Sudah mulai didapat infeksi dengan jaringan nekrotik yang berbau.
Derajat IV Perluasan ulkus menembus otot, hingga tampak tulang di dasar ulkus yang dapat mengakibatkan infeksi pada tulang atau sendi.
Mengingat patofisiologi terjadinya dekubitus adalah penekanan pada daerah-daerah tonjolan tulang, harusla diingat bahwa kerusakan jaringan dibawah tempat yang mengalami dekubitus adalah lelih luas dari ulkusnya.
Jika tidak ditangani dengan baik, maka dekubitus dapat meningkat dari iritasi yang kecil tanpa disertai dengan robeknya kulit sampai tahap yang dapat mengancam jiwa pasien, baik oleh luasnya kerusakan kulit maupun infeksi.
Stroke merupakan penyakit gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf/deficit neurologik akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak. Secara sederhana stroke didefinisi sebagai penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan atau perdarahan, dengan gejala lemas / lumpuh sesaat atau gejala berat sampai hilangnya kesadaran, dan kematian. Stroke bisa berupa iskemik maupun perdarahan (hemoragik).
Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerotik atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah, melaui proses aterosklerosis. Pada stroke pendarahan (hemoragik), pembuluh darah pecah sehingga aliran darah menjadi tidak normal, dan darah yang keluar merembes masuk ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya.
Secara detil gejala dan tanda stroke adalah:
• Adanya serangan defisit neurologis fokal, berupa Kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh
• Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh. Baal atau mati rasa sebelah badan, terasa kesemutan, terasa seperti terkena cabai, rasa terbakar
• Mulut, lidah mencong bila diluruskan
• Gangguan menelan : sulit menelan, minum suka keselek
• Bicara tidak jelas (rero), sulit berbahasa, kata yang diucapkan tidak sesuai keinginan atau gangguan bicara berupa pelo, sengau, ngaco, dan kata-katanya tidak dapat dimengerti atau tidak dipahami (afasia). Bicara tidak lancar, hanya sepatah-sepatah kata yang terucap
• Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat
• Tidak memahami pembicaraan orang lain
• Tidak mampu membaca dan menulis, dan tidak memahami tulisan
• Tidak dapat berhitung, kepandaian menurun
• Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh
• Hilangnya kendalian terhadap kandung kemih, kencing yang tidak disadari
• Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-kecil
• Menjadi pelupa ( dimensia)
• Vertigo ( pusing, puyeng ), atau perasan berputar yang menetap saat tidak beraktifitas
• Awal terjadinya penyakit (Onset) cepat, mendadak dan biasanya terjadi pada saat beristirahat atau bangun tidur
• Hilangnya penglihatan, berupa penglihatan terganggu, sebagian lapang pandangan tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri, penglihatan gelap atau ganda sesaat
• Kelopak mata sulit dibuka atau dalam keadaan terjatuh
• Pendengaran hilang atau gangguan pendengaran, berupa tuli satu telinga atau pendengaran berkurang
• Menjadi lebih sensitif: menjadi mudah menangis atau tertawa
• Kebanyakan tidur atau selalu ingin tidur
• Kehilangan keseimbangan, gerakan tubuh tidak terkoordinasi dengan baik, sempoyongan, atau terjatuh
• Gangguan kesadaran, pingsan sampai tidak sadarkan diri
Jadi perlu diperhatikan titik potensial untuk terjadinya dekubitus pada pasien post stroke
PENGELOLAAN DEKUBITUS
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio.
Usaha untuk meremalkan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor Norton. Skor dibawah 14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus. Dengan evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita
Tindakan berikutnya adalan menjaga kebersihan penderita khususnya kulit, dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskreta/sekreta harus dibersihkan dengan hati-hati agari tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita.
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah terjadinya dekubitus adalah:
1. Meningkatkan status kesehatan penderita;
umum; memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia diatasi, hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi yang cukup, vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan.
khusus; coba mengatasi/mengoabati penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM.
2. Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah;
a. Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam. Keberatan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.
b. Kasur khusus untuk lebih memambagi rata tekan yang terjadi pada tubuh penderita, misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur. (keberatan alat canggih ini adalah harganya mahal, perawatannya sendir harus baik dan dapat ruasak)
c. Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain;
• Menjaga posisi penderita, apakah ditidurkan rata pada tempat tidurnya, atau sudah memungkinakan untuk duduk dikursi.
• Bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal kecil utuk menahan tubuh penderita, “kue donat” untuk tumit,
• Diluar negeri sering digunakan kulit domba dengan bulu yang lembut dan tebal sebagai alas tubuh penderita.
d. Pemberian electrical stimulation
woundEL®-therapy atau electrical stimulation pada kasus ulcer adalah kombinasi yang efektif, dimana digunakan impuls LF DC dan dapat diaplikasikan baik pada pengobatan kasus akut, subakut dan luka kronis.
woundEL®-therapy terdiri dari alat terapi stimulasi dengan electrode yang dibalut dan electrode yang dicelupkan. Elektrode yang kontak dengan luka adalah electrode yang dibalut dengan balutan steril lapisan medical grade hydrogel yang tidak hanya melembabkan luka tetapi juga mengabsorbsi cairan luka yang berlebihan
Bagitu tampak kulit yang hiperemis pada tubuh penderita, khsusnya pada tempat-tempat yang sering terjadi dekubitus, semua usaha-usahan diatas dilakukan dengan lebih cermat untuk memperbaiki iskemia yang terjadi, sebab sekali terjadi kerusakan jaringa upaya penyembuhan akan lebih rumit.
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik menyesuaikan apa yang dihadapi:
1. Dekubitus derajat I
Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis;
kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari.
2. Dekubitus derajat II
Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal;
Perawatan luka harus memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik.
Daerah bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara hangat bergantian untuk meransang sirkulasi.
Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk meransang tumbuhnya jaringan muda/granulasi,
Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena malahan dapat merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
3. Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada infeksi;
Usahakan luka selalu bersih dan eksudat disusahakan dapat mengalir keluar.
Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan.
Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenarasi sel-sel kulit.
Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis.
Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.
4. Dekubitus derajat IV
Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta jaringan nekrotik;
Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik yang adal harus dibersihkan , sebaba akan menghalangi pertumbuhgan jaringan/epitelisasi.
Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang danluka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.
Beberapa usaha mempercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada daerah luka,
Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40%.
DEKUBITUS ULCES PASIEN POST STROKE
Kita kehilangan sekitar satu gram sel kulit setiap harinya karena gesekan kulit pada baju dan aktivitas higiene yang dilakukan setiap hari seperti mandi.
Dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur, tetapi hal ini merupakan masalah yang khusus pada penderita stroke dan lansia, karena masalah imobilitas.
Seseorang yang tidak im-mobil yang dan tidak hanya berbaring ditempat tidur sampai berminggu-minggu tanpa terjadi dekubitus karena dapat berganti posisi beberapa kali dalam sejam. Penggantian posisi ini, biarpun hanya bergeser, sudah cukup untuk mengganti bagian tubuh yang kontak dengan alas tempat tidur.
Sedangkan im-mobilitas hampir menyebabkan dekubitus bila berlangsung lama. Terjadinya ulkus disebabkan gangguan aliran darah setempat dan juga keadaan umum dari penderita.
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat.
Walaupun semua bagian tubuh mengalami dekubitus, bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khsus.
Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak dilindungi oleh cukup dengan lemak sub kutan, misalnya daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior, daerah tumit dan siku.
Dekubitus merupakan suatu hal yang serius, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderita lanjut usia. Dinegara-negara maju, prosentase terjadinya dekubitus mencapai sekitar 11% dan terjadi dalam dua minggu pertama dalam perawatan.
Pasien stroke dan usia lanjut mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kulit berkaitan dengan immobilitas tersebut, antara lain:
• Berkurangnya jaringan lemak subkutan
• Berkurangnya jaringan kolagen dan elastin
• Menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh.
TIPE ULKUS DEKUBITUS
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga;
1. Tipe normal
Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5oC dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya baik.
2. Tipe arterioskelerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.
3. Tipe terminal
Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan sembuh.
PATOFISIOLOGI TERJADINYA DEKUBITUS
Tekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg-33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas tersebut. Tetapi sebagai contoh bila seorang penderita immobil/terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.
Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nokrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring berminggu-minggu tidak akan mengalami dakubitus selama dapat mengganti posisi beberapa kali perjammnya.
Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor mekanik tambahan yang dapat memudahkan terjadinya dekubitus;
• Faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah pada penderita dengan posisi dengan setengah berbaring
• Faktor terlipatnya kulit akiab gesekan badan yang sangat kurus dengan alas tempat tidur, sehingga seakan-akan kulit “tertinggal” dari area tubuh lainnya.
Faktor teragannya kulit akibat daya luncur antara tubuh dengan alas tempatnya berbaring akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan setempat.
Keadaan ini terjadi bila penderita immobil, tidak dibaringkan terlentang mendatar, tetapi pada posisi setengah duduk. Ada kecenderungan dari tubuh untuk meluncur kebawah, apalagi keadaannya basah. Sering kali hal ini dicegah dengan memberikan penhalang, misalnya bantal kecil/balok kayu pada kedua telapak kaki. Upaya ini hanya akian mencegah pergerakan dari kulit, yang sekarang terfiksasi dari alas, tetapi rangka tulang tetap cederung maju kedepan. Akibatnya terjadi garis-garis penekanan/peregangan pada jaringan subkutan yang sekan-akan tergunting pada tempat-tempat tertentu, dan akan terjadi penutupan arteriole dan arteri-arteri kecil akibat terlalu teregang bahkan sampai robek. Tenaga menggunting ini disebut Shering Forces.
Sebagai tambahan dari shering forces ini, pergerakan dari tubuh diatas alas tempatnya berbaring, dengan fiksasi kulit pada permukaan alas akan menyebabkan terjadinya lipatan-lipatan kulit (skin folding). Terutama terjadi pada penderita yang kurus dengan kulit yang kendur. Lipatan-lipatan kulit yang terjadi ini dapat menarik/mengacaukan (distorsi) dan menutup pembuluh-pembuluh darah.
Sebagai tambahan dari efek iskemia langsung dari faktor-faktor diatas, masih harus diperhatikan terjadinya kerusakan edotil, penumpukan trombosit dan edema. Semua inidapat menyebabkan nekrosis jarigan akibat lebih terganggunya aliran darah kapiler. Kerusakan endotil juga menyebabkn pembuluh darah mudah rusak bila terkena trauma.
Faktor tubuh sendiri (faktor intrinsik) juga berperan untuk terjadinya dekubitus antara lain;
FAKTOR INTRINSIK
• Selama penuaan, regenerasi sel pada kulit menjadi lebih lambat sehingga kulit akan tipis (tortora & anagnostakos, 1990)
• Penyakit-penyakit neurologik, penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, seperti stroke sehingga juga mempermudah dan memperjelek dekubitus
• Kandungan kolagen pada kulit yang berubah menyebabkan elastisitas kulit berkurang sehingga rentan mengalami deformasi dan kerusakan.
• Kemampuan sistem kardiovaskuler yang menurun dan sistem arteriovenosus yang kurang kompeten menyebabkan penurunan perfusi kulit secara progresif.
• Sejumlah penyakit yang menimbulkan seperti DM yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada sistem pernapasan menyebabkan tingkat oksigenisasi darah pada kulit menurun.
• Status gizi, underweight atau kebalikannya overweight
• Anemia
• Hipoalbuminemia yang mempermudah terjadinya dekubitus dan memperjelek penyembuhan dekubitus, sebaliknya bila ada dekubitus akam menyebabkan kadar albumin darah menurun
• Keadaan hidrasi/cairan tubuh perlu dinilai dengan cermat.
FAKTOR EKSTRINSIK
• Kebersihan tempat tidur,
• alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus.
• Duduk yang buruk
• Posisi yang tidak tepat
• Perubahan posisi yang kurang
PENAMPILAN KLINIS DARI DEKUBITUS
Karakteristik penampilan klinis dari dekubitus dapat dibagi sebagai berikut;
Derajat I Reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, tampak sebagai daerah kemerahan/eritema indurasi atau lecet.
Derajat II Reaksi yang lebih dalam lagi sampai mencapai seluruh dermis hingga lapisan lemah subkutan, tampak sebagai ulkus yang dangkal, degan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit.
Derajat III Ulkus menjadi lebih dalam, meliputi jaringan lemak subkutan dan menggaung, berbatasan dengan fascia dari otot-otot. Sudah mulai didapat infeksi dengan jaringan nekrotik yang berbau.
Derajat IV Perluasan ulkus menembus otot, hingga tampak tulang di dasar ulkus yang dapat mengakibatkan infeksi pada tulang atau sendi.
Mengingat patofisiologi terjadinya dekubitus adalah penekanan pada daerah-daerah tonjolan tulang, harusla diingat bahwa kerusakan jaringan dibawah tempat yang mengalami dekubitus adalah lelih luas dari ulkusnya.
Jika tidak ditangani dengan baik, maka dekubitus dapat meningkat dari iritasi yang kecil tanpa disertai dengan robeknya kulit sampai tahap yang dapat mengancam jiwa pasien, baik oleh luasnya kerusakan kulit maupun infeksi.
Stroke merupakan penyakit gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf/deficit neurologik akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak. Secara sederhana stroke didefinisi sebagai penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan atau perdarahan, dengan gejala lemas / lumpuh sesaat atau gejala berat sampai hilangnya kesadaran, dan kematian. Stroke bisa berupa iskemik maupun perdarahan (hemoragik).
Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerotik atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah, melaui proses aterosklerosis. Pada stroke pendarahan (hemoragik), pembuluh darah pecah sehingga aliran darah menjadi tidak normal, dan darah yang keluar merembes masuk ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya.
Secara detil gejala dan tanda stroke adalah:
• Adanya serangan defisit neurologis fokal, berupa Kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh
• Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh. Baal atau mati rasa sebelah badan, terasa kesemutan, terasa seperti terkena cabai, rasa terbakar
• Mulut, lidah mencong bila diluruskan
• Gangguan menelan : sulit menelan, minum suka keselek
• Bicara tidak jelas (rero), sulit berbahasa, kata yang diucapkan tidak sesuai keinginan atau gangguan bicara berupa pelo, sengau, ngaco, dan kata-katanya tidak dapat dimengerti atau tidak dipahami (afasia). Bicara tidak lancar, hanya sepatah-sepatah kata yang terucap
• Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat
• Tidak memahami pembicaraan orang lain
• Tidak mampu membaca dan menulis, dan tidak memahami tulisan
• Tidak dapat berhitung, kepandaian menurun
• Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh
• Hilangnya kendalian terhadap kandung kemih, kencing yang tidak disadari
• Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-kecil
• Menjadi pelupa ( dimensia)
• Vertigo ( pusing, puyeng ), atau perasan berputar yang menetap saat tidak beraktifitas
• Awal terjadinya penyakit (Onset) cepat, mendadak dan biasanya terjadi pada saat beristirahat atau bangun tidur
• Hilangnya penglihatan, berupa penglihatan terganggu, sebagian lapang pandangan tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri, penglihatan gelap atau ganda sesaat
• Kelopak mata sulit dibuka atau dalam keadaan terjatuh
• Pendengaran hilang atau gangguan pendengaran, berupa tuli satu telinga atau pendengaran berkurang
• Menjadi lebih sensitif: menjadi mudah menangis atau tertawa
• Kebanyakan tidur atau selalu ingin tidur
• Kehilangan keseimbangan, gerakan tubuh tidak terkoordinasi dengan baik, sempoyongan, atau terjatuh
• Gangguan kesadaran, pingsan sampai tidak sadarkan diri
Jadi perlu diperhatikan titik potensial untuk terjadinya dekubitus pada pasien post stroke
PENGELOLAAN DEKUBITUS
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio.
Usaha untuk meremalkan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor Norton. Skor dibawah 14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus. Dengan evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita
Tindakan berikutnya adalan menjaga kebersihan penderita khususnya kulit, dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskreta/sekreta harus dibersihkan dengan hati-hati agari tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita.
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah terjadinya dekubitus adalah:
1. Meningkatkan status kesehatan penderita;
umum; memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia diatasi, hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi yang cukup, vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan.
khusus; coba mengatasi/mengoabati penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM.
2. Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah;
a. Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam. Keberatan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.
b. Kasur khusus untuk lebih memambagi rata tekan yang terjadi pada tubuh penderita, misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur. (keberatan alat canggih ini adalah harganya mahal, perawatannya sendir harus baik dan dapat ruasak)
c. Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain;
• Menjaga posisi penderita, apakah ditidurkan rata pada tempat tidurnya, atau sudah memungkinakan untuk duduk dikursi.
• Bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal kecil utuk menahan tubuh penderita, “kue donat” untuk tumit,
• Diluar negeri sering digunakan kulit domba dengan bulu yang lembut dan tebal sebagai alas tubuh penderita.
d. Pemberian electrical stimulation
woundEL®-therapy atau electrical stimulation pada kasus ulcer adalah kombinasi yang efektif, dimana digunakan impuls LF DC dan dapat diaplikasikan baik pada pengobatan kasus akut, subakut dan luka kronis.
woundEL®-therapy terdiri dari alat terapi stimulasi dengan electrode yang dibalut dan electrode yang dicelupkan. Elektrode yang kontak dengan luka adalah electrode yang dibalut dengan balutan steril lapisan medical grade hydrogel yang tidak hanya melembabkan luka tetapi juga mengabsorbsi cairan luka yang berlebihan
Bagitu tampak kulit yang hiperemis pada tubuh penderita, khsusnya pada tempat-tempat yang sering terjadi dekubitus, semua usaha-usahan diatas dilakukan dengan lebih cermat untuk memperbaiki iskemia yang terjadi, sebab sekali terjadi kerusakan jaringa upaya penyembuhan akan lebih rumit.
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik menyesuaikan apa yang dihadapi:
1. Dekubitus derajat I
Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis;
kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari.
2. Dekubitus derajat II
Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal;
Perawatan luka harus memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik.
Daerah bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara hangat bergantian untuk meransang sirkulasi.
Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk meransang tumbuhnya jaringan muda/granulasi,
Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena malahan dapat merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
3. Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada infeksi;
Usahakan luka selalu bersih dan eksudat disusahakan dapat mengalir keluar.
Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan.
Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenarasi sel-sel kulit.
Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis.
Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.
4. Dekubitus derajat IV
Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta jaringan nekrotik;
Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik yang adal harus dibersihkan , sebaba akan menghalangi pertumbuhgan jaringan/epitelisasi.
Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang danluka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.
Beberapa usaha mempercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada daerah luka,
Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40%.
Skala Keseimbangan Berg
Berg Balance Scale
Description:
14-item scale designed to measure balance of the older adult in a clinical setting.
Equipment needed: Ruler, 2 standard chairs (one with arm rests, one without)
Footstool or step, Stopwatch or wristwatch, 15 ft walkway
Completion:
Time: 15-20 minutes
Scoring: A five-point ordinal scale, ranging from 0-4. “0” indicates the lowest level
of function and “4” the highest level of function. Total Score = 56
Interpretation: 41-56 = low fall risk
21-40 = medium fall risk
0 –20 = high fall risk
Criterion Validity:
“Authors support a cut off score of 45/56 for independent safe ambulation”.
Riddle and Stratford, 1999, examined 45/56 cutoff validity and concluded:
• Sensitivity = 64% (Correctly predicts fallers)
• Specificity = 90% (Correctly predicts non-fallers)
• Riddle and Stratford encouraged a lower cut off score of 40/56 to assess fall risk
Comments: Potential ceiling effect with higher level patients. Scale does not include gait items
Norms:
Lusardi, M.M. (2004). Functional Performance in Community Living Older Adults.
Journal of Geriatric Physical Therapy, 26(3), 14-22.
Berg Balance Scale
Name: __________________________________ Date: ___________________
Location: ________________________________ Rater: ___________________
ITEM DESCRIPTION SCORE (0-4)
Sitting to standing ________
Standing unsupported ________
Sitting unsupported ________
Standing to sitting ________
Transfers ________
Standing with eyes closed ________
Standing with feet together ________
Reaching forward with outstretched arm ________
Retrieving object from floor ________
Turning to look behind ________
Turning 360 degrees ________
Placing alternate foot on stool ________
Standing with one foot in front ________
Standing on one foot ________
Total ________
GENERAL INSTRUCTIONS
Please document each task and/or give instructions as written. When scoring, please record the lowest response category that applies for each item.
In most items, the subject is asked to maintain a given position for a specific time. Progressively more points are deducted if:
• the time or distance requirements are not met
• the subject’s performance warrants supervision
• the subject touches an external support or receives assistance from the examiner
Subject should understand that they must maintain their balance while attempting the tasks. The choices of which leg to stand on or how far to reach are left to the subject. Poor judgment will adversely influence the performance and the scoring.
Equipment required for testing is a stopwatch or watch with a second hand, and a ruler or other indicator of 2, 5, and 10 inches. Chairs used during testing should be a reasonable height. Either a step or a stool of average step height may be used for item # 12.
Berg Balance Scale
SITTING TO STANDING
INSTRUCTIONS: Please stand up. Try not to use your hand for support.
( ) 4 able to stand without using hands and stabilize independently
( ) 3 able to stand independently using hands
( ) 2 able to stand using hands after several tries
( ) 1 needs minimal aid to stand or stabilize
( ) 0 needs moderate or maximal assist to stand
STANDING UNSUPPORTED
INSTRUCTIONS: Please stand for two minutes without holding on.
( ) 4 able to stand safely for 2 minutes
( ) 3 able to stand 2 minutes with supervision
( ) 2 able to stand 30 seconds unsupported
( ) 1 needs several tries to stand 30 seconds unsupported
( ) 0 unable to stand 30 seconds unsupported
If a subject is able to stand 2 minutes unsupported, score full points for sitting unsupported. Proceed to item #4.
SITTING WITH BACK UNSUPPORTED BUT FEET SUPPORTED ON FLOOR OR ON A STOOL
INSTRUCTIONS: Please sit with arms folded for 2 minutes.
( ) 4 able to sit safely and securely for 2 minutes
( ) 3 able to sit 2 minutes under supervision
( ) 2 able to able to sit 30 seconds
( ) 1 able to sit 10 seconds
( ) 0 unable to sit without support 10 seconds
STANDING TO SITTING
INSTRUCTIONS: Please sit down.
( ) 4 sits safely with minimal use of hands
( ) 3 controls descent by using hands
( ) 2 uses back of legs against chair to control descent
( ) 1 sits independently but has uncontrolled descent
( ) 0 needs assist to sit
TRANSFERS
INSTRUCTIONS: Arrange chair(s) for pivot transfer. Ask subject to transfer one way toward a seat with armrests and one way toward a seat without armrests. You may use two chairs (one with and one without armrests) or a bed and a chair.
( ) 4 able to transfer safely with minor use of hands
( ) 3 able to transfer safely definite need of hands
( ) 2 able to transfer with verbal cuing and/or supervision
( ) 1 needs one person to assist
( ) 0 needs two people to assist or supervise to be safe
STANDING UNSUPPORTED WITH EYES CLOSED
INSTRUCTIONS: Please close your eyes and stand still for 10 seconds.
( ) 4 able to stand 10 seconds safely
( ) 3 able to stand 10 seconds with supervision
( ) 2 able to stand 3 seconds
( ) 1 unable to keep eyes closed 3 seconds but stays safely
( ) 0 needs help to keep from falling
STANDING UNSUPPORTED WITH FEET TOGETHER
INSTRUCTIONS: Place your feet together and stand without holding on.
( ) 4 able to place feet together independently and stand 1 minute safely
( ) 3 able to place feet together independently and stand 1 minute with supervision
( ) 2 able to place feet together independently but unable to hold for 30 seconds
( ) 1 needs help to attain position but able to stand 15 seconds feet together
( ) 0 needs help to attain position and unable to hold for 15 seconds
Berg Balance Scale continued…..
REACHING FORWARD WITH OUTSTRETCHED ARM WHILE STANDING
INSTRUCTIONS: Lift arm to 90 degrees. Stretch out your fingers and reach forward as far as you can. (Examiner places a ruler at the end of fingertips when arm is at 90 degrees. Fingers should not touch the ruler while reaching forward. The recorded measure is the distance forward that the fingers reach while the subject is in the most forward lean position. When possible, ask subject to use both arms when reaching to avoid rotation of the trunk.)
( ) 4 can reach forward confidently 25 cm (10 inches)
( ) 3 can reach forward 12 cm (5 inches)
( ) 2 can reach forward 5 cm (2 inches)
( ) 1 reaches forward but needs supervision
( ) 0 loses balance while trying/requires external support
PICK UP OBJECT FROM THE FLOOR FROM A STANDING POSITION
INSTRUCTIONS: Pick up the shoe/slipper, which is place in front of your feet.
( ) 4 able to pick up slipper safely and easily
( ) 3 able to pick up slipper but needs supervision
( ) 2 unable to pick up but reaches 2-5 cm(1-2 inches) from slipper and keeps balance
independently
( ) 1 unable to pick up and needs supervision while trying
( ) 0 unable to try/needs assist to keep from losing balance or falling
TURNING TO LOOK BEHIND OVER LEFT AND RIGHT SHOULDERS WHILE STANDING
INSTRUCTIONS: Turn to look directly behind you over toward the left shoulder. Repeat to the right. Examiner may pick an object to look at directly behind the subject to encourage a better twist turn.
( ) 4 looks behind from both sides and weight shifts well
( ) 3 looks behind one side only other side shows less weight shift
( ) 2 turns sideways only but maintains balance
( ) 1 needs supervision when turning
( ) 0 needs assist to keep from losing balance or falling
TURN 360 DEGREES
INSTRUCTIONS: Turn completely around in a full circle. Pause. Then turn a full circle in the other direction.
( ) 4 able to turn 360 degrees safely in 4 seconds or less
( ) 3 able to turn 360 degrees safely one side only 4 seconds or less
( ) 2 able to turn 360 degrees safely but slowly
( ) 1 needs close supervision or verbal cuing
( ) 0 needs assistance while turning
PLACE ALTERNATE FOOT ON STEP OR STOOL WHILE STANDING UNSUPPORTED
INSTRUCTIONS: Place each foot alternately on the step/stool. Continue until each foot has touch the step/stool four times.
( ) 4 able to stand independently and safely and complete 8 steps in 20 seconds
( ) 3 able to stand independently and complete 8 steps in > 20 seconds
( ) 2 able to complete 4 steps without aid with supervision
( ) 1 able to complete > 2 steps needs minimal assist
( ) 0 needs assistance to keep from falling/unable to try
STANDING UNSUPPORTED ONE FOOT IN FRONT
INSTRUCTIONS: (DEMONSTRATE TO SUBJECT) Place one foot directly in front of the other. If you feel that you cannot place your foot directly in front, try to step far enough ahead that the heel of your forward foot is ahead of the toes of the other foot. (To score 3 points, the length of the step should exceed the length of the other foot and the width of the stance should approximate the subject’s normal stride width.)
( ) 4 able to place foot tandem independently and hold 30 seconds
( ) 3 able to place foot ahead independently and hold 30 seconds
( ) 2 able to take small step independently and hold 30 seconds
( ) 1 needs help to step but can hold 15 seconds
( ) 0 loses balance while stepping or standing
STANDING ON ONE LEG
INSTRUCTIONS: Stand on one leg as long as you can without holding on.
( ) 4 able to lift leg independently and hold > 10 seconds
( ) 3 able to lift leg independently and hold 5-10 seconds
( ) 2 able to lift leg independently and hold ≥ 3 seconds
( ) 1 tries to lift leg unable to hold 3 seconds but remains standing independently.
( ) 0 unable to try of needs assist to prevent fall
( ) TOTAL SCORE (Maximum = 56)
Description:
14-item scale designed to measure balance of the older adult in a clinical setting.
Equipment needed: Ruler, 2 standard chairs (one with arm rests, one without)
Footstool or step, Stopwatch or wristwatch, 15 ft walkway
Completion:
Time: 15-20 minutes
Scoring: A five-point ordinal scale, ranging from 0-4. “0” indicates the lowest level
of function and “4” the highest level of function. Total Score = 56
Interpretation: 41-56 = low fall risk
21-40 = medium fall risk
0 –20 = high fall risk
Criterion Validity:
“Authors support a cut off score of 45/56 for independent safe ambulation”.
Riddle and Stratford, 1999, examined 45/56 cutoff validity and concluded:
• Sensitivity = 64% (Correctly predicts fallers)
• Specificity = 90% (Correctly predicts non-fallers)
• Riddle and Stratford encouraged a lower cut off score of 40/56 to assess fall risk
Comments: Potential ceiling effect with higher level patients. Scale does not include gait items
Norms:
Lusardi, M.M. (2004). Functional Performance in Community Living Older Adults.
Journal of Geriatric Physical Therapy, 26(3), 14-22.
Berg Balance Scale
Name: __________________________________ Date: ___________________
Location: ________________________________ Rater: ___________________
ITEM DESCRIPTION SCORE (0-4)
Sitting to standing ________
Standing unsupported ________
Sitting unsupported ________
Standing to sitting ________
Transfers ________
Standing with eyes closed ________
Standing with feet together ________
Reaching forward with outstretched arm ________
Retrieving object from floor ________
Turning to look behind ________
Turning 360 degrees ________
Placing alternate foot on stool ________
Standing with one foot in front ________
Standing on one foot ________
Total ________
GENERAL INSTRUCTIONS
Please document each task and/or give instructions as written. When scoring, please record the lowest response category that applies for each item.
In most items, the subject is asked to maintain a given position for a specific time. Progressively more points are deducted if:
• the time or distance requirements are not met
• the subject’s performance warrants supervision
• the subject touches an external support or receives assistance from the examiner
Subject should understand that they must maintain their balance while attempting the tasks. The choices of which leg to stand on or how far to reach are left to the subject. Poor judgment will adversely influence the performance and the scoring.
Equipment required for testing is a stopwatch or watch with a second hand, and a ruler or other indicator of 2, 5, and 10 inches. Chairs used during testing should be a reasonable height. Either a step or a stool of average step height may be used for item # 12.
Berg Balance Scale
SITTING TO STANDING
INSTRUCTIONS: Please stand up. Try not to use your hand for support.
( ) 4 able to stand without using hands and stabilize independently
( ) 3 able to stand independently using hands
( ) 2 able to stand using hands after several tries
( ) 1 needs minimal aid to stand or stabilize
( ) 0 needs moderate or maximal assist to stand
STANDING UNSUPPORTED
INSTRUCTIONS: Please stand for two minutes without holding on.
( ) 4 able to stand safely for 2 minutes
( ) 3 able to stand 2 minutes with supervision
( ) 2 able to stand 30 seconds unsupported
( ) 1 needs several tries to stand 30 seconds unsupported
( ) 0 unable to stand 30 seconds unsupported
If a subject is able to stand 2 minutes unsupported, score full points for sitting unsupported. Proceed to item #4.
SITTING WITH BACK UNSUPPORTED BUT FEET SUPPORTED ON FLOOR OR ON A STOOL
INSTRUCTIONS: Please sit with arms folded for 2 minutes.
( ) 4 able to sit safely and securely for 2 minutes
( ) 3 able to sit 2 minutes under supervision
( ) 2 able to able to sit 30 seconds
( ) 1 able to sit 10 seconds
( ) 0 unable to sit without support 10 seconds
STANDING TO SITTING
INSTRUCTIONS: Please sit down.
( ) 4 sits safely with minimal use of hands
( ) 3 controls descent by using hands
( ) 2 uses back of legs against chair to control descent
( ) 1 sits independently but has uncontrolled descent
( ) 0 needs assist to sit
TRANSFERS
INSTRUCTIONS: Arrange chair(s) for pivot transfer. Ask subject to transfer one way toward a seat with armrests and one way toward a seat without armrests. You may use two chairs (one with and one without armrests) or a bed and a chair.
( ) 4 able to transfer safely with minor use of hands
( ) 3 able to transfer safely definite need of hands
( ) 2 able to transfer with verbal cuing and/or supervision
( ) 1 needs one person to assist
( ) 0 needs two people to assist or supervise to be safe
STANDING UNSUPPORTED WITH EYES CLOSED
INSTRUCTIONS: Please close your eyes and stand still for 10 seconds.
( ) 4 able to stand 10 seconds safely
( ) 3 able to stand 10 seconds with supervision
( ) 2 able to stand 3 seconds
( ) 1 unable to keep eyes closed 3 seconds but stays safely
( ) 0 needs help to keep from falling
STANDING UNSUPPORTED WITH FEET TOGETHER
INSTRUCTIONS: Place your feet together and stand without holding on.
( ) 4 able to place feet together independently and stand 1 minute safely
( ) 3 able to place feet together independently and stand 1 minute with supervision
( ) 2 able to place feet together independently but unable to hold for 30 seconds
( ) 1 needs help to attain position but able to stand 15 seconds feet together
( ) 0 needs help to attain position and unable to hold for 15 seconds
Berg Balance Scale continued…..
REACHING FORWARD WITH OUTSTRETCHED ARM WHILE STANDING
INSTRUCTIONS: Lift arm to 90 degrees. Stretch out your fingers and reach forward as far as you can. (Examiner places a ruler at the end of fingertips when arm is at 90 degrees. Fingers should not touch the ruler while reaching forward. The recorded measure is the distance forward that the fingers reach while the subject is in the most forward lean position. When possible, ask subject to use both arms when reaching to avoid rotation of the trunk.)
( ) 4 can reach forward confidently 25 cm (10 inches)
( ) 3 can reach forward 12 cm (5 inches)
( ) 2 can reach forward 5 cm (2 inches)
( ) 1 reaches forward but needs supervision
( ) 0 loses balance while trying/requires external support
PICK UP OBJECT FROM THE FLOOR FROM A STANDING POSITION
INSTRUCTIONS: Pick up the shoe/slipper, which is place in front of your feet.
( ) 4 able to pick up slipper safely and easily
( ) 3 able to pick up slipper but needs supervision
( ) 2 unable to pick up but reaches 2-5 cm(1-2 inches) from slipper and keeps balance
independently
( ) 1 unable to pick up and needs supervision while trying
( ) 0 unable to try/needs assist to keep from losing balance or falling
TURNING TO LOOK BEHIND OVER LEFT AND RIGHT SHOULDERS WHILE STANDING
INSTRUCTIONS: Turn to look directly behind you over toward the left shoulder. Repeat to the right. Examiner may pick an object to look at directly behind the subject to encourage a better twist turn.
( ) 4 looks behind from both sides and weight shifts well
( ) 3 looks behind one side only other side shows less weight shift
( ) 2 turns sideways only but maintains balance
( ) 1 needs supervision when turning
( ) 0 needs assist to keep from losing balance or falling
TURN 360 DEGREES
INSTRUCTIONS: Turn completely around in a full circle. Pause. Then turn a full circle in the other direction.
( ) 4 able to turn 360 degrees safely in 4 seconds or less
( ) 3 able to turn 360 degrees safely one side only 4 seconds or less
( ) 2 able to turn 360 degrees safely but slowly
( ) 1 needs close supervision or verbal cuing
( ) 0 needs assistance while turning
PLACE ALTERNATE FOOT ON STEP OR STOOL WHILE STANDING UNSUPPORTED
INSTRUCTIONS: Place each foot alternately on the step/stool. Continue until each foot has touch the step/stool four times.
( ) 4 able to stand independently and safely and complete 8 steps in 20 seconds
( ) 3 able to stand independently and complete 8 steps in > 20 seconds
( ) 2 able to complete 4 steps without aid with supervision
( ) 1 able to complete > 2 steps needs minimal assist
( ) 0 needs assistance to keep from falling/unable to try
STANDING UNSUPPORTED ONE FOOT IN FRONT
INSTRUCTIONS: (DEMONSTRATE TO SUBJECT) Place one foot directly in front of the other. If you feel that you cannot place your foot directly in front, try to step far enough ahead that the heel of your forward foot is ahead of the toes of the other foot. (To score 3 points, the length of the step should exceed the length of the other foot and the width of the stance should approximate the subject’s normal stride width.)
( ) 4 able to place foot tandem independently and hold 30 seconds
( ) 3 able to place foot ahead independently and hold 30 seconds
( ) 2 able to take small step independently and hold 30 seconds
( ) 1 needs help to step but can hold 15 seconds
( ) 0 loses balance while stepping or standing
STANDING ON ONE LEG
INSTRUCTIONS: Stand on one leg as long as you can without holding on.
( ) 4 able to lift leg independently and hold > 10 seconds
( ) 3 able to lift leg independently and hold 5-10 seconds
( ) 2 able to lift leg independently and hold ≥ 3 seconds
( ) 1 tries to lift leg unable to hold 3 seconds but remains standing independently.
( ) 0 unable to try of needs assist to prevent fall
( ) TOTAL SCORE (Maximum = 56)
Langganan:
Postingan (Atom)